Beranda | Artikel
Iman dan Aqidah Ahlus Sunnah terhadap Sahabat
2 hari lalu

Iman dan Aqidah Ahlus Sunnah terhadap Sahabat adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Syarhus Sunnah karya Imam Al-Barbahari Rahimahullah. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Iqbal Gunawan, M.A Hafidzahullah pada Rabu, 01 Rajab 1446 H / 01 Januari 2025 M.

Kajian Islam Tentang Iman dan Aqidah Ahlus Sunnah terhadap Sahabat

Beliau Rahimahullah mengatakan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini iman adalah ucapan, perbuatan, niat, dan kesesuaian dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Iman bertambah dan juga berkurang. Beliau menegaskan bahwa iman bertambah sesuai kehendak Allah Azza wa Jalla dan bisa berkurang, bahkan bisa tidak tersisa sama sekali.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga meyakini bahwa iman secara bahasa adalah الإقرار (penetapan). Ketika seseorang mengimani, berarti dia menetapkan. Adapun secara syariat, iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota tubuh.

Iman harus diyakini dalam hati seseorang. Di antaranya adalah iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, takdir baik dan buruk, serta segala rincian yang wajib diketahui dan diyakini oleh setiap muslim.

Iman harus diucapkan dengan lisan, seperti kalimat أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰهِ. Selama seseorang mampu berbicara, ia harus mengucapkannya. Adapun jika ia bisu, maka boleh menggantinya dengan isyarat.

Iman juga harus dibuktikan dengan perbuatan anggota badan. Seseorang yang mengaku beriman harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan, seperti shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, haji jika mampu, dan mengeluarkan zakat jika hartanya telah mencapai batas nisab yang ditentukan.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa iman itu bertambah dan berkurang. Iman dapat bertambah, naik, kuat, dan kokoh, tetapi juga bisa melemah, berkurang, dan rapuh. Iman bertambah dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla. Semakin seseorang memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah, maka keimanannya akan bertambah.

Keimanan juga meningkat dengan menambah ibadah-ibadah sunnah di samping ibadah wajib, seperti memperbanyak zikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an, berbakti kepada orang tua, bersilaturahim, serta memperbanyak sedekah. Semua ini dapat memperkuat keimanan.

Sebaliknya, iman berkurang dengan maksiat dan perbuatan dosa, terutama dosa besar seperti zina, riba, memakan harta anak yatim, meminum khamar, dan lain sebagainya. Semua ini jelas akan sangat mengurangi keimanan seseorang.

Keyakinan ini berbeda dengan kelompok Murjiah, yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Murjiah mengatakan bahwa iman cukup diyakini dalam hati tanpa harus diucapkan dengan lisan. Atau kelompok Murjiah yang lain mengatakan bahwa iman cukup diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan tidak harus dibuktikan dengan amal perbuatan. Padahal, iman yang benar adalah yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa iman terdiri atas tiga unsur utama yang harus ada dalam diri orang yang beriman, yaitu keyakinan dalam hati, pengucapan dengan lisan, dan pembuktian melalui amal perbuatan. Sekadar meyakini dalam hati tanpa diucapkan dengan lisan tidak cukup untuk menyatakan keimanan seseorang.

Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla ketika menceritakan tentang orang-orang kafir:

قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ ۖ فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَٰكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ

“Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu. Maka sesungguhnya mereka tidaklah mendustakanmu, tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (QS. Al-An’am [6]: 33)

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa orang-orang kafir di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mendustakan beliau dalam hati mereka. Mereka meyakini kebenaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi karena kezaliman dan kesombongan, mereka enggan mengucapkannya dengan lisan. Maka, seseorang yang hanya meyakini kebenaran Islam dalam hati tetapi tidak mengucapkan kalimat لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ (Laa ilaaha illallah), keimanannya tidak sah.

Sebaliknya, jika seseorang mengucapkan kalimat أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللّٰهِ dengan lisannya, tetapi hatinya mendustakannya, maka ini juga tidak dibenarkan. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang orang-orang munafik:

…يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ ۗ…

“Mereka mengatakan dengan lisan mereka apa yang tidak ada dalam hati mereka.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 167)

Keimanan yang benar harus diyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Ucapan lisan dan keyakinan hati tidak cukup kecuali jika dibuktikan dengan melaksanakan perintah Allah melalui anggota badan.

Keimanan seseorang tidak sah kecuali jika diucapkan dengan lisan, diyakini dalam hati, dan dibuktikan dengan amal perbuatan, kecuali jika ada uzur tertentu. Misalnya, seseorang yang baru masuk Islam lalu tidak sempat melaksanakan amal perintah Allah karena kondisi tertentu.

Sebagaimana diriwayatkan bahwa ada seorang sahabat yang mengucapkan لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ (Laa ilaaha illallah) dan langsung ikut berjihad di medan perang. Dia terbunuh sebelum sempat shalat, tetapi keimanannya tetap diterima karena dia tidak memiliki kesempatan untuk beramal. Begitu pula, jika seseorang mengucapkan لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ, tetapi kemudian mengalami gangguan mental seperti gila sehingga tidak sempat beramal, maka dia termasuk yang diberi uzur.

Namun, jika seseorang masih memiliki kesempatan untuk beramal tetapi meninggalkannya sama sekali, maka keimanannya tidak sah. Iman harus mencakup pengucapan dengan lisan, keyakinan hati, dan pembuktian melalui amal perbuatan.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga meyakini bahwa iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Ini berbeda dengan kelompok seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan Murjiah. Kelompok Khawarij dan Mu’tazilah berpendapat bahwa jika iman seseorang berkurang, maka hilang seluruhnya sehingga pelakunya keluar dari keimanan. Sementara itu, Murjiah menyatakan bahwa selama seseorang memiliki iman, dosanya tidak memengaruhi keimanannya. Bahkan, Murjiah ekstrem mengatakan bahwa pelaku dosa besar memiliki iman yang sama dengan Malaikat Jibril. Kelompok ini sesat karena tidak meyakini bahwa iman bertambah dan berkurang.

Pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah ditegaskan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى ۗ…

“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk…” (QS. Maryam[19]: 76)

Dan masih banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa iman bisa bertambah semakin kuat dan kokoh. Maka manusia tidak berada pada satu level keimanan. Orang-orang beriman memiliki tingkatan yang berbeda-beda dalam keimanan. Maka, sesuatu yang dapat bertambah tentu bisa pula berkurang.

Di antara dalil bahwa iman bisa berkurang adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika dia tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Lihat: Hadits Arbain Ke 34 – Aturan dalam Merubah Kemungkaran

Dalam riwayat lain disebutkan:

لَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ

“Setelah itu (jika hatinya tidak mengingkari), berarti tidak ada iman meskipun seberat biji sawi (dalam perkara ingkarul mungkar).” (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa jika seseorang tidak mengingkari kemungkaran bahkan dengan hatinya, maka tidak ada keimanan dalam hatinya, meskipun sedikit, dalam perkara ingkarul mungkar. Namun, penting untuk dipahami bahwa orang yang tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya tidak otomatis keluar dari Islam. Sebab, orang yang melakukan kemungkaran saja tidak keluar dari Islam selama itu bukan kekufuran.

Begitu pula, jika seseorang tidak mengingkari dosa, bahkan mengiklankannya, maka kita tidak mengatakan bahwa dia keluar dari Islam. Akan tetapi, dalam hal ini, dia tidak memiliki iman dalam bab ingkarul mungkar. Oleh karena itu, tidak benar jika dikatakan bahwa yang tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya berarti kafir. Yang benar adalah dia tidak memiliki keimanan dalam bab tersebut.

Imam Al-Barbahari Rahimahullah berkata bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa manusia terbaik di umat ini, bahkan dibandingkan umat-umat terdahulu setelah para nabi, adalah para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Kita harus meyakini bahwa manusia terbaik adalah para nabi. Bahkan, di antara para nabi pun terdapat tingkatan-tingkatan. Nabi yang termulia adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian Nabi Ibrahim, dan para Rasul Ulul Azmi secara umum, yaitu Nabi Nuh, Nabi Musa, dan Nabi Isa. Para rasul lebih utama daripada para nabi secara umum, dan para nabi adalah manusia terbaik.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga meyakini bahwa satu nabi lebih utama daripada seribu wali. Wali tidak mencapai derajat nabi. Adapun sebagian kelompok sesat yang menisbatkan diri kepada Islam meyakini bahwa sebagian wali lebih utama daripada sebagian nabi, atau bahkan lebih utama daripada para nabi secara keseluruhan. Ini adalah keyakinan yang sesat dan menyimpang.

Kemudian kita harus meyakini bahwa manusia terbaik setelah para nabi adalah para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Di antara para sahabat, yang paling mulia adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, dan kemudian Ali Radhiyallahu ‘Anhum.

Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma meriwayatkan:

كُنَّا نَقُولُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَظْهُرِنَا: إِنَّ خَيْرَ النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ، وَيَسْمَعُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ فَلَا يُنْكِرُهُ

“Dahulu kami meyakini, sejak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih berada di tengah-tengah kami: ‘Sesungguhnya manusia terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (pada umat ini) adalah Abu Bakar, kemudian Umar, dan kemudian Utsman.’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendengar pernyataan kami itu, dan beliau tidak mengingkarinya.”

Kita juga harus meyakini bahwa generasi terbaik umat ini adalah generasi yang diutus kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu para sahabat. Kemudian generasi setelahnya, yaitu para tabiin, dan kemudian generasi setelahnya, yaitu para tabi’ut tabiin. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, kemudian generasi setelah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Generasi para sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabiin adalah generasi yang direkomendasikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Demikianlah keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang harus kita pegang teguh.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54854-iman-dan-aqidah-ahlus-sunnah-terhadap-sahabat/